(Pernah dipublikasikan di Harian Haluan tanggal 23 Nopember 2007)
Apresiasi dan kritik terhadap sesepuh saya Mathias Pandoe. Tulisan sang wartawan senior ini di Harian Padang Ekspres terbitan Rabu tanggal 21 November 2007 dengan judul “Miras di Sarang Dai” membuat saya terkesima. Ada kesan terjadinya generalisasi terhadap realitas yang terjadi. Tulisan tersebut spontan mendorong saya untuk memberikan sedikit penjelasan dan tanggapan – setidaknya memberikan “satu perspektif yang lebih empatik". Meskipun pak Pandoe memojokkan para da’i yang berasal dari Ujung Gading dengan menulis berbagai marga dan bahkan mengatakan : “Sebagian yang eksodus dari Utara, bak burung tabang mambao sarang, artinya membawa kebiasaan-kebiasaan di negeri asal, seperti main catur dan minum tuak. Tidak menerapkan falsafat dimana bumi dipijak, disinan langik dijunjuang, disitu bumi dipijak maka disitu pula adapt dipakai”. Saya yakin, niat Pak Pandoe tulus-bersih. Bentuk keprihatinan terdalam pada kejadian ini. Saya yakin juga, Pak Pandoe mengkritisi para dai dengan menyampaikan kritikan yang “super-pedas”, bahkan bila hanya ditangkap dengan “kaca mata kuda” bisa berpotensi membangkitkan emosional dan membuat telinga merah-pedas.
Saya bukanlah dai kondang Padang asal Pasaman Barat seperti kakak dan bapak-bapak saya : Syahruji Tanjung, Manaon Lubis, Mikdar Piliang, Nahruddin Lubis, Fitri Abu Hasan -- untuk menyebut beberapa nama diantaranya, saya hanya "labai lentera" yang pernah menjadi gharim masjid selama 10 tahun dan sekarang jadi dosen IAIN Imam Bonjol Padang. Saya dari Air Bangis, sebuah nagari tetangga dari nagari Ujung Gading. Namun saya memiliki ikatan emosional-genetik dengan nagari Ujung Gading. Ayah saya orang Mandahiling (asal Natal Madina bermarga Nasution), Ibu saya orang Minang suku Jambak dan tiga orang adik kandung saya suaminya dari "utara" bermarga Sembiring, Siregar dan Lubis. Interaksi social-budaya saya lalui cukup intens dengan orang-orang bermarga “keluarga Mandahiling”. Hal ini setidaknya membuat saya sedikit banyaknya mengetahui kebiasaan dan kehidupan sosial-kultural masyarakat Ujung Gading.
Saya sepakat dengan pak Pandoe bahwa meminum Miras, apalagi dalam suasana atau momentum Hari Fitri dan setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan adalah peristiwa yang sangat memalukan. Sekali lagi sangat memalukan. Memprihatinkan dan menyentakkan “ranah rasionalitas dan jiwa imani agama kita”. Apalagi peristiwa ini membawa banyak korban meninggal dan puluhan yang dirawat di Rumah Sakit. Jadi headline di berbagai media massa local dan menjadi perhatian media elektronik nasional. Tak mengherankan bila berbagai pihak kemudian bertanya, “Mengapa hal ini terjadi?”. Mengapa peristiwa memalukan ini bisa terjadi di nagari yang masuk dalam wilayah kultur Minangkabau yang menganut Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah ?. Namun patutkah kita memojokkan dan menyalahkan para dai saja. Tidakkah variable banyak yang terlibat ketika kasus ini dianalisis secara jernih. Patutkah para dai dijadikan satu-satunya variable penyebab atau variable paling signifikan ?. Patutkan para dai disalahkan dalam masalah yang kewenangannya hanya sekedar menyampaikan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Dalam konteks ini, para dai memiliki keterbatasan kewenangan dan kekuasaan dalam memberantas Miras. Mungkin pertanyaan yang lebih rasional dalam melihat masalh ini adalah Siapa yang berwenang dan berkuasa dalam mengawasi, memberi izin jual beri Miras, Menangkap dan menahan orang-orang yang melanggar soal Miras ?. Secara asumtif, semua orang sudah memiliki jawaban yang seragam. Dan itu bukanlah kewenangan dan kekuasaan para dai.
Ada hal yang perlu diluruskan dalam peristiwa Miras di Ujung Gading yaitu tentang opini yang terbentuk dimana kejadian tersebut adalah sebuah pesta Miras sistematik. Bahkan telah menjadi sebuah tradisi. Tuak menjadi symbol kultur masyarakat Ujung Gading. Dalam bahasa antropologi, ini adalah momentum dan symbol budaya yang include pada masyarakat Ujung Gading. Saya fikir ini bukanlah simpulan yang objektif. Ada generalisasi yang terjadi ketika simpulan ini diambil. Masyarakat Ujung Gading tidak pernah mengadakan pesta Miras dan secara histories apalagi budaya, Miras bukanlah tradisi masyarakat Ujung Gading. Masyarakat Ujung Gading adalah masyarakat religius. Di daerah ini, aura dan nilai-nilai Islam terasa “hidup”, majelis ta’lim, pengajian dan madrasah-madrasah serta pondok pesantren sangat maju. Organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya cukup berkembang secara dinamis dan mendapat apresiasi yang “menggairahkan” dari masyarakat Ujung Gading. Secara kuantitatif, setiap tahun masyarakat Ujung Gading mengalami peningkatan dalam menunaikan ibadah haji dibandingkan daerah lainnya di Pasaman Barat. Telah sejak lama pula masyarakat Ujung Gading melaksanakan hokum faraidh dalam masalah kewarisan. Mayoritas – secara histories genetic – mereka berasal dari daerah Tapanuli Selatan (termasuk Madina), sebuah “enclave Islam” diwilayah Sumatera Utara. Bahkan Mandahiling identik dengan Islam, walaupun tidak sekaku identiknya Islam dengan Minangkabau. Tapi setidaknya, daerah Tapanuli Selatan dan Madina pada saat dulu hingga sekarang, pengaruh Islam sangat kuat. Ekstrimnya, tidaklah mungkin daerah utara yang Islam itu membawa kebiasaan minum tuak sebagaimana yang dikatakan oleh Pak Pandoe tersebut.
Kejadian ini bukanlah sebuah pesta sebagaimana yang menjadi headline di berbagai media massa . Memang jumlah yang meminum Miras ini cukup banyak, tetapi bukanlah dalam sebuah pesta dan dalam waktu yang bersamaan. Mereka minum di berbagai tempat dan berkelompok-kelompok, tidak dalam rentang satu hari. Hal ini berarti peristiwa tersebut bukanlah berasal dari sebuah pesta yang melibatkan banyak orang. Peristiwa tersebut juga bukan merupakan tradisi dan kebiasaan masyarakat Ujung Gading. Karena ini tidak pernah terjadi pada Hari Raya Idul Fithri tahun-tahun terdahulu. Baru tahun inilah, peristiwa jahilliyah dan sangat memalukan ini terjadi. Agaknya, perubahan social dan kemajuan teknologi informasi yang sedemikian pesat, telah membawa perubahan yang “timpang” pada masyarakat Ujung Gading dan masyarakat-masyarakat daerah lainnya. Wilayah yang terbuka, lalu lintas transportasi yang demikian tinggi, perkebunan sawit yang menjanjikan secara ekonomis, memberikan kontribusi dalam merubah pola perilaku masyarakat Ujung Gading, terutama generasi mudanya. Ditambah lagi dengan pengawasan dari pihak-pihak paling berwenang terhadap peredaran Miras ini lemah.
Kedepan, butuh sinergitas yang demikian sinergis dalam mengantisipasi agar peristiwa ini tidak terjadi lagi. Bukan hanya di pundak dai saja. Setidaknya, pihak Pemda dan Kepolisian harus kembali mengevaluasi perizinan dan jual beli Miras ini. Ketika pertama sekali Kapolri Jenderal Soetanto menjadi Kapolri, beliau pernah mengeluarkan pernyataan bahwa prioritas utamanya pada masa awal bertugas adalah memberantas Miras dan Perjudian. Miras menurutnya merupakan “asal bala” atau potensi yang paling potensial dalam kekacauan social, sedangkan judi memberikan potensi besar dalam meruntuhkan profesionalisme, mental dan etos kerja masyarakat. Semoga kedepan, kejadian Ujung Gading bisa dijadikan “kasus” bersama karena ini menjadi inspirasi bagi kita bersama untuk belajar bahwa Miras sejak zaman Rasulullah SAW. Telah menjadi sesuatu yang paling dilarang oleh Allah SWT. Terima kasih Pak Pandoe, Bapak telah menjadikan kasus ini menjadi kasus milik bersama. Dengan kritik Bapak, setidaknya memberikan kesadaran terkadang harus ada korban dahulu, maka pihak-pihak berwenang dan pihak-pihak yang terkait menjadi tersentak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar