Caleg perempuan memang sempat mendapat diistimewakann oleh pasal 65 ayat (1) UU No.12 Tahun 2003 Tentang Pemilu. Maklum, pasal UU tersebut memerintahkan setiap parpol peserta pemilu mengajukan caleg perempuan minimal 30%. Kemudian, karena itu, celg perempuan ditempatkan pada nomor urut kecil, 2, 3 atau nomor 4 pada daftar caleg di tiap tingkatan legislatif. Sayang peluang istimewa itu tak bertahan lama. Hanya sampai di nomor urut. Kemudian, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) merevisi pasal 214 UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, 23 Desemeber 2008 lampau, keistimewaan itupun lenyap. Soalnya, pemenang pemilu legislatif yang sebelumnya adalah peraih suara di atas 30 persen dan menduduki nomor urut lebih kecil, setelah UU direvisi pemenang pemilu adalah peraih suara terbanyak tanpa melihat nomor urut. MK, entah karena lupa atau sengaja, tampaknya tak mempertimbangkan upaya pemerintah maupun perjuangan kalangan perempuan untuk duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan kaum pria di semua bidang termasuk di jajaran lembaga legislatif sebagaimana misi dan inspirasi dari UU No.12 Tahun 2003 tersebut.
Mestinya, MK tetap mempertimbangkan dan mempertahankan pasal 65 UU No. 12 Tahun 2003 sehingga priroitas yang diberikan UU ini tetap berlaku dalam penentuan pemenang pemilu. Atau sebaliknya, kalau toh akan diabaikan, mestinya Mahkamah Konstitusi juga merevisi pasal tersebut sehingga tidak terjadi tumpang tindih diantara UU. Kini keberadaan kedua UU itu, selain menimbulkan kerancuan juga terkesan memperolok-olokan kaum perempaun. Dengan alasan itu seharusnya menjelang pemilu 2009 dilangsungkan, kaum perempuan mengajukan peninjau kembali keputusan MK itu.
Namun, sebelum gugatan diajukan, para caleg perempuan harus bersiap diri dan menyadari bahwa tak ada lagi perlindungan dari UU yang memberikan kemudahan bagi perempuan duduk di lembaga legislatif. Bagi yang mengandalkan nomor urut, apalagi merasa tertumpang di partai besar, boleh jadi nyalinya ciut maju ke gelanggang pemilu. Sebab, yang dipilih warga bukan partai tapi langsung orang perorang. Sebaliknya, bagi yang memiliki kepribadian, punya rasa percaya diri, pernah berkiprah dan mendapat simpati di tengah masyarakat, perubahan UU tersebut justru makin membuka kesempatan baginya menunjukkan diri dan meraih kursi, bahkan menyaingi nomor urut satu semisal para ketua-ketua partai. Artinya, peluang caleg perempuan dalam pemilu 2009 ini sangat ditentukan oleh jejak langkahnya selama ini dan kiprahnya menjelang pemilu. Karena itu, mumpung hari masih pagi, para caleg perempuan, tentu juga celeg pria, perlu berkaca bercermin diri lagi. Pandangan dakek ditukiek-an pandangan jauh dilayangkan. Lalu, lihatlah bayang-bayang. Apakah mungkin turun ke gelanggang atau cepat surut ke belakang. Sebab, biaya ikut pemilu tak murah. Seorang caleg kini harus menyiapkan sendiri tanda gambar, biaya kampanye/ pengumpulan massa, biaya sosialisasi ke daerah pemilihannya dan sebagainya. Ini pilihan penting sebelum dianggap penting dipilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar