Selasa, 31 Maret 2009

DIALOG TVRI PADANG : Pendidikan Anak Usia Dini

Narasumber : Hj. Emma Yohanna
Moderator : Robby Leo
Acara : Ruang Publik

Tgl Tayang : 31 Maret 2009
Jam Tayang : 16.00 s/d 17.00

Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi anak dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Diantaranya yaitu sarana pendidikan yang terbatas dan tidak merata terutama di pedesaan dan kurangnya pemahaman orang tua tentang pentingnya PAUD. Selain itu, perlu dana yang tidak sedikit untuk biaya pendidikan di TK/RA, kelompok bermain dan semacamnya. Bahkan di kota besar ada TK atau playgroup yang biaya masuknya lebih besar daripada SD dan SMP. Sarana PAUD memang belum merata tersedia di pedesaan. Hal ini mengakibatkan banyak anak yang tidak bisa menikmati pendidikan sejak usia dini. Untuk mendirikan TK atau kelompok bermain memang tidak mudah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara di pedesaan taraf ekonomi masyarakatnya relatif rendah sehingga untuk mendirikan TK menjadi tidak feasible. Dalam bahasa yang lebih sederhana bisa dikatakan “tidak bisa balik modal”. Faktor yang paling penting dalam pendidikan anak sebenarnya adalah orang tua terutama ibu. Bukan berarti seorang bapak tidak perlu bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya. Namun, biasanya dan seharusnya yang lebih banyak di rumah dan mengurus anak adalah ibunya. Untuk itu, pemahaman orangtua tentang pentingnya pendidikan anak usia dini sangat menentukan. Sebagian orangtua berpandangan mereka hanya “wajib” memberikan pendidikan kepada anaknya ketika masuk sekolah formal yaitu SD dan seterusnya. Sedangkan pendidikan anak sebelum usia SD sering diabaikan dan dianggap sebagai “sunnah”.

Biaya yang mahal menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat partisipasi dalam PAUD. Dana yang perlu dikeluarkan oleh orangtua yang menyekolahkan anaknya di TK/playgroup memang tidak sedikit. Selain uang masuk yang jumlahnya cukup besar, ditambah lagi dengan uang bulanan. Belum lagi ada tambahan pengeluaran yang bisa menguras kantong yaitu uang untuk berenang, manasik haji, outbound, piknik, wisuda dan lain sebagainya.
Hampir setiap bulan ada kegiatan yang membutuhkan biaya tambahan dari orangtua. Pada kondisi ekonomi yang belum kunjung membaik ini, para orangtua akan memprioritaskan pengeluaran dananya hanya untuk kebutuhan yang paling penting dan mendesak saja. Oleh karena itu, jika mereka belum memahami pentingnya PAUD maka dana untuk itu tidak akan pernah menjadi prioritas. Padahal PAUD sangat penting dan harus dimulai ketika anak baru lahir. Pada saat anak dilahirkan, ia sudah dibekali dengan struktur otak yang lengkap, namun baru mencapai kematangannya pada saat setelah di luar kandungan. Bayi yang baru dilahirkan memiliki lebih dari 100 miliar neuron dan sekitar satu trilyun sel glia yang berfungsi sebagai perekat serta synap (cabang-cabang neuron) yang akan membentuk bertrilyun-trilyun sambungan antar neuron yang jumlahnya melebihi kebutuhan. Synap ini akan bekerja sampai usia anak lima-enam tahun.

Banyaknya jumlah sambungan tersebut mempengaruhi pembentukan kemampuan otak sepanjang hidupnya. Pertumbuhan jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada awal-awal tahun kehidupannya, terutama pengalaman yang menyenangkan.
Pada fase perkembangan ini, anak memiliki potensi yang luar biasa dalam mengembangkan kemampuan berbahasa, matematika, keterampilan berpikir, dan pembentukan stabilitas emosional. Pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara orangtua mengasuh dan memberi makan serta menstimulasi anak pada usia dini yang sering disebut critical period ini. Gizi yang tidak seimbang, maupun gizi buruk, serta derajat kesehatan anak yang rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan pada gilirannya akan menurunkan kemampuan otak dalam mencatat, menyerap, menyimpan, memproduksi dan merekonstruksi informasi.

Solusi dari masih rendahnya partisipasi dalam pendidikan anak usia dini harus segera direalisasikan agar permasalahan ini tidak terus membesar. Ada beberapa alternatif solusi yang bisa secara simultan dilakukan karena faktor penyebabnya memang tidak tunggal. Diantaranya yaitu peningkatan pemahaman orangtua tentang pentingnya pendidikan anak usia dini, PAUD gratis untuk rakyat miskin serta sosialisasi konsep home schooling sebagai salah satu alternatif model pendidikan.

Untuk meningkatkan pemahaman orangtua tentang pentingnya pendidikan anak dimulai sejak awal kelahiran, perlu dilakukan kampanye besar-besaran melalui berbagai media. Iklan layanan masyarakat di televisi akan sangat efektif menjangkau hampir semua lapisan masyarakat. Dilengkapi dengan informasi yang gencar disampaikan melalui surat kabar, majalah, radio dan internet. Media luar ruang (outdoor) seperti spanduk, baliho, poster, pamflet dan semacamnya akan menarik perhatian masyarakat jika dikemas dengan menarik. Selain itu, untuk memperdalam informasi bisa dibuat buku saku atau cd/vcd berisi materi yang berkaitan. Tak kalah pentingnya adalah perlu diadakan penyuluhan langsung kepada para orangtua melalui pengajian di majlis taklim, arisan dan lain sebagainya.

Kamis, 26 Maret 2009

Emma Yohanna : "Jangan Membodohi Rakyat"

/Datanglah Kepada Rakyat/Hidup Bersama Rakyat/Belajarlah Dari Rakyat/Rencanakan Bersama Rakyat/Mulai Dari Yang Diketahui Rakyat/Bangunlah Yang Dimiliki Rakyat/Ajarilah dengan Contoh/Bekerjalah dan Bekerja/

(Dikutip dari James C. Yan)

Padang, Singgalang, Senin (16/3). Labelnya kampanye damai dan berkualitas. Seyogyanya, tak ada saling sikut. Kendatipun saat bersamaan seribu janji akan terumbar dari mulut para caleg. Tak hanya parpol dan caleg yang kemarin memulai kampanyenya. Di Padang, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) nomor urut 13, Hj. Emma Yohanna, juga memulai kampanyenya. Menurut Emma, usaha untuk menjadi pemenang sah-sah saja dilakukan semua calon, asal tetap memegang etika ataupun raso pareso. Etika dalam berpolitik itu bisa diwujudkan dengan cara menenangkan masing-masing pendukung, berupa ajaran siap menerima kekalahan. Selain itu, para calon juga harus menginstruksikan pendukungnya, agar menempuh cara-cara bersih untuk mencapai kemenangan. “Jangan bodohi masyarakat dengan janji-janji kosong, karena itu juga akan menjadi utang di akhirat. Lebih baik tampil apa adanya, sehingga masyarakat tidak merasa dibohongi wakilnya,” tambahnya.

Pada pembukaan kampanye kemaren, dengan kekuatan 45 pendukungnya, Emma membagi-bagi bunga mawar warna pink pada masyarakat. Rombongan Emma tampak sangat mencolok, dengan pakaian warna pink yang cukup kontras. Begitu acara usai di Ruang Terbuka Hijau Imam Bonjol Padang, rombongan Emma masuk Pasar Raya dan mengadakan konvoi di jalan raya. Pendukung Emma yang notabene kaum ibu, tampak melambaikan tangan di sepanjang jalan yang mereka lewati.

Selasa, 17 Maret 2009

Caleg Perempuan Ditelan Ketentuan

Oleh : Fachrul Rasyid HF (wartawan senior)

Caleg perempuan memang sempat mendapat diistimewakann oleh pasal 65 ayat (1) UU No.12 Tahun 2003 Tentang Pemilu. Maklum, pasal UU tersebut memerintahkan setiap parpol peserta pemilu mengajukan caleg perempuan minimal 30%. Kemudian, karena itu, celg perempuan ditempatkan pada nomor urut kecil, 2, 3 atau nomor 4 pada daftar caleg di tiap tingkatan legislatif. Sayang peluang istimewa itu tak bertahan lama. Hanya sampai di nomor urut. Kemudian, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) merevisi pasal 214 UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, 23 Desemeber 2008 lampau, keistimewaan itupun lenyap. Soalnya, pemenang pemilu legislatif yang sebelumnya adalah peraih suara di atas 30 persen dan menduduki nomor urut lebih kecil, setelah UU direvisi pemenang pemilu adalah peraih suara terbanyak tanpa melihat nomor urut. MK, entah karena lupa atau sengaja, tampaknya tak mempertimbangkan upaya pemerintah maupun perjuangan kalangan perempuan untuk duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan kaum pria di semua bidang termasuk di jajaran lembaga legislatif sebagaimana misi dan inspirasi dari UU No.12 Tahun 2003 tersebut.

Mestinya, MK tetap mempertimbangkan dan mempertahankan pasal 65 UU No. 12 Tahun 2003 sehingga priroitas yang diberikan UU ini tetap berlaku dalam penentuan pemenang pemilu. Atau sebaliknya, kalau toh akan diabaikan, mestinya Mahkamah Konstitusi juga merevisi pasal tersebut sehingga tidak terjadi tumpang tindih diantara UU. Kini keberadaan kedua UU itu, selain menimbulkan kerancuan juga terkesan memperolok-olokan kaum perempaun. Dengan alasan itu seharusnya menjelang pemilu 2009 dilangsungkan, kaum perempuan mengajukan peninjau kembali keputusan MK itu.

Namun, sebelum gugatan diajukan, para caleg perempuan harus bersiap diri dan menyadari bahwa tak ada lagi perlindungan dari UU yang memberikan kemudahan bagi perempuan duduk di lembaga legislatif. Bagi yang mengandalkan nomor urut, apalagi merasa tertumpang di partai besar, boleh jadi nyalinya ciut maju ke gelanggang pemilu. Sebab, yang dipilih warga bukan partai tapi langsung orang perorang. Sebaliknya, bagi yang memiliki kepribadian, punya rasa percaya diri, pernah berkiprah dan mendapat simpati di tengah masyarakat, perubahan UU tersebut justru makin membuka kesempatan baginya menunjukkan diri dan meraih kursi, bahkan menyaingi nomor urut satu semisal para ketua-ketua partai. Artinya, peluang caleg perempuan dalam pemilu 2009 ini sangat ditentukan oleh jejak langkahnya selama ini dan kiprahnya menjelang pemilu. Karena itu, mumpung hari masih pagi, para caleg perempuan, tentu juga celeg pria, perlu berkaca bercermin diri lagi. Pandangan dakek ditukiek-an pandangan jauh dilayangkan. Lalu, lihatlah bayang-bayang. Apakah mungkin turun ke gelanggang atau cepat surut ke belakang. Sebab, biaya ikut pemilu tak murah. Seorang caleg kini harus menyiapkan sendiri tanda gambar, biaya kampanye/ pengumpulan massa, biaya sosialisasi ke daerah pemilihannya dan sebagainya. Ini pilihan penting sebelum dianggap penting dipilih.

Kiprah Emma Dalam "Talenta Kid 2"

SINGGALANG ON-LINE - PADANG. Sumatra Barat menyimpan banyak bakat-bakat penyanyi terpendam yang butuh pemolesan sedari dini. Kesimpulan ini diambil Ketua Pelaksana Talenta Kid 2, Hj. Emma Yohanna, setelah ajang pencarian bakat itu memasuki babak final. Untuk Talenta Kid 2 itu, penyelenggara dari Himpunan Wanita Karya (HWK) tersebut, baru bisa mengakomodir bakat-bakat dari Padang, Bukittinggi, Payakumbuh dan Sawahlunto. Walau pada kenyataannya, ada juga peserta dari kabupaten dan kota lain yang mengikuti audisi di tempat diadakannya acara tersebut. “Masyarakat Sumbar butuh banyak acara-acara pencarian bakat seperti ini. Di mana HWK baru mengambil bagian di bidang tarik suara. Sementara bidang lainnya, seperti modeling dan lainnya, juga membutuhkan perhatian serius. Semoga saja, walikota ataupun bupati memperhatikan hal ini,” kata Emma, kepada Singgalang, di sela-sela acara final Talenta Kid 2, yang berlangsung di Plasa Andalas Padang, Minggu (15/3).

Dikatakan nya, peserta final terbagi dalam dua kategori umur, yakni 5-8 tahun sebanyak 19 orang dan 9-12 tahun sebanyak 25 orang. Siapa yang berhasil menjadi pemuncak nantinya, akan diadu lagi kemampuannya dalam babak grand final 28 Maret yang akan datang, bertempat di Hotel Pangeran Beach Padang. “Pemenang I, II dan III, ditentukan oleh dewan juri. Sementara pemenang favorit, diambil dari SMS. Caranya, ketik TALENTA (spasi) nomor peserta, kirim ke 7071. Talenta harus dibuat dalam huruf besar,” tambahnya. Dalam penentuan juara, dewan juri tidak bisa diganggu gugat, walaupun oleh panitia. Pemenang mutlak di tangan juri, di mana semuanya kompeten di bidangnya. Sementara pemenang favorit, boleh ditentukan oleh semua warga Sumbar.

Senin, 09 Maret 2009

Gamawan Fauzi Memperoleh HMI Awards 2009

PADANG, SINGGALANG – 15 Februari 2009. Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi dan Wakil Gubernur Sumbar, Marlis Rahman bersama 15 orang tokoh Sumbar lainnya, menerima penghargaan KAHMI Awards 2009. Penghargaan tersebut diberikan sebagai apresiasi terhadap konsistensi mereka terhadap perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Disamping sumbangsih dan persan serta mereka yang cukup besar untuk kemajuan HMI di Sumbar. “Selain berperan terhadap kemajuan HMI di Sumbar, selaku kader HMI mereka juga dinilai berhasil menjadi contoh teladan bagi masyarakat dan mengharumkan Korps HMI di tengah-tengah masyarakat,” ungkap Ketua Tim Seleksi KAHMI Awards 2009, Prof. Dr. H. Fashbir Noor Sidin, SE, MSP., yang didampingi oleh salah seorang Presidium KAHMI Sumbar Hj. Emma Yohanna, ketika menyerahkan penghargaan tersebut, Kamis (5/2) di Pangern Beach Hotel, Padang.

Sementara itu, peringatan dies natalis HMI ke-62 di Sumbar berlangsung meriah. Kegiatan yang digelar, selain penganugerahan KAHMI Awards 2009, juga dilakukan pelantikan Majelis Wilayah KAHMI Sumbar periode 2008-2013 dan diskusi panel kebangsaan. Hampir semua tokoh yang merupakan kader HMI hadir dalam acara tersebut. Mulai dari pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi-Marlis Rahman, Walikota Padang, Fauzi Bahar, Ketua KPU Sumbar, Marzul Veri, ST., anggota DPRD Sumbar, Djonimar Boer dan banyak lagi. Dari Presidium KAHMI pusat, dihadiri oleh Prof. Dr. Nanak Fatah Nasir. Majelis Wilayah KAHMI Sumbar yang dilantik, yaitu, Ketua Pembina, Gamawan Fauzi, Ketua Majelis Pakar, Prof. Dr. Helmi dan Presidum yang terdiri dari Ir. Djonimar Boer, Dr. Ir. H. Jafrinur, MSP., Prof. Dr. H. Fashbir Noor Sidin, SE, MSP., Marzul Veri, ST., Hj. Emma Yohanna, BA., Basrizal Dt. Rangkayo Basa, S.Sos., dan Dra. Mimi Suharti, diharapkan Nanak untuk melaksanakan tugas pokok mereka, yakni melahirkan kader-kader pemimpin yang berkualitas dan menjadi pusat pencerahan inteletualitas (center of exelent)

Minggu, 08 Maret 2009

Sabtu, 07 Maret 2009

Erick Hariyona : Putra Emma Yohanna Pimpin HIPMI Sumatera Barat

PADANG EKSPRES - Seperti diprediksi sebelumnya, Erick Hariyona terpilih sebagai Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sumbar periode 2008-2011. Direktur PT Barettamuda Pratama itu terpilih secara aklamasi pada Musyawarah Daerah (Musda) IX HIPMI Sumbar, di Pangeran’s Beach Hotel Padang, kemarin. Sebelumnya, sempat mengapung nama tiga kandidat lainnya yang bakal bertarung dalam perebutan tampuk kursi orang nomor satu di organisasi tempat berhimpunnya para pengusaha muda Ranah Minang itu. Mereka adalah Bonny Hidayat Hans, Reza Sadat Shameini dan Syarbaini. Hanya saja, saat pemilihan, ketiga kandidat tersebut menyatakan mengundurkan diri. Kepada Padang Ekspres usai pemilihan, Erick Hariyona menyebutkan akan merealisasikan sejumlah program kerja yang direkomendasikan pada rapat Komisi. Sejalan dengan itu, jajaran pengurus yang akan dibentuk membuat akan membuat sejumlah terobosan. Di antaranya menjalin hubungan yang baik dengan para stakeholder, melibatkan jajaran pegusaha muda, menghidupkan bisnis centre di sekretariat HIPMI, serta sejumlah program strategis lainnya. Muara dari semua itu, adalah memberdayakan para pengusaha muda Sumbar, sehingga bisa eksis dan disegani di kancah nasional.

“Seperti diketahui, beberapa dekade sebelumnya, HIPMI Sumbar termasuk salah satu yang diperhitungkan di kancah nasional. Nah, kami berkeinginan gezah dan marwah tersebut hendak kembali bisa tercipta,” ungkap Erick, sapaan akrab Erick Hariyona. Pengusaha muda kelahiran Padang, 23 Oktober 1982 itu juga menyebutkan, pihaknya akan mendukung sepenuhnya program “Sejuta Entreprenuer” yang dicanangkan Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI, 2007 lalu. “Program ini harus didukung. Karena, jika para entreprenuer sudah tercipta, otomatis lapangan pekerjaan tercipta. Dengan sendiri, jumlah anngka pengangguran akan bisa ditekan,” ungkap pengurus Kadin Sumbar dan Gapeksindo Sumbar itu.

Untuk merampungkan kabinetnya, Erick Hariyona yang ditunjuk sebagai ketua tim formatur dengan dibantu empat formatur lainnya; Rinaldo Azwar (Ketua Pengda sebelumnya), Bonny Hidayat Hans, Reza Sadat Shameini dan Syarbaini, berjanji akan tuntus dalam waktu dekat. “Paling tidak menjelang pelantikan, yang diperkirakan awal Juni mendatang, semuanya sudah rampung,” bebernya. Sebelumnya, Ketua Kadin Sumbar Asnawi Bahar sangat berharap kepada pengurus terpilih bisa mengayomi para pengusaha muda daerah ini. Dan kepada pengusaha muda yang belum bergabung dihimbau untuk berbaur. “HIPMI adalah organisasi tempat belajar bagi pengusaha muda. Banyak pengusaha muda nasional beranjak dari organisasi ini. Sebut saja misalnya, Jusuf Kalla, Agung Lanksono, Fahmi Idris, Aburizal Bakri, Siswono Y. Sementara di tingkat

Sumbar, seperti Fairus Bakhtiar Kahar, Ambrial Hasan, Irfianda Abidin, Budi Syukur, saya sendiri, adalah produk yang pernah dihasilkan HIPMI. Peran sentral sebagai pelanjut tonggak estafet kaderisasi pengusaha muda harus dilanjutkan pengurus sekarang,” harap Asnawi. Asnawi mengajak pengusaha muda untuk berusaha dengan sungguh-sungguh, sesuai dengan etika bisnis yang benar. “Jika sudah mapan, segeralah bergerak ke sektor riil. Jangan lagi berharap kepada “kue” pemerintahan daerah yang jumlahnya terbatas dan diperebutkan banyak orang. Apalagi, sejak beberapa dekade, nyaris tidak ada pengusaha minang yang sukses di kancah nasional. Tak salah, Pak Yusuf Kalla meledek kita dengan sebutan, pengusaha Minang dua langkah lebih maju pengusaha Cina (maksudnya pedagang kaki lima yang menggelar dagangan dua langkah di tempat usaha pendagang Cina). Ini merupakan tamparan sekaligus cambuk bagi kita untuk bisa berbuat lebih baik,”beber Asnawi

Citra Al Madina Milik Emma Yohanna Jadi PAUD Rujukan

POS METRO - Januari 2009. Yayasan Pendidikan Citra Almadina di Jalan Purus I No 8A Padang peroleh sertifikat sebagai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) unggulan nasional dari Depdiknas RI. Citra Almadina menjadi satu-satunya lembaga pendidikan usia dini di Sumbar yang memperoleh penghargaan ini. Secara nasional Depdiknas hanya memilih 10 lembaga pendidikan terbaik. Kasubid Pembinaan Taman Penitipan Anak Direktorat PAUD Depdiknas Tuti Wahyuti, usai Launching TPA Pusat Ungguluan PAUD Citra Almadina dan Workshop BCCT di kantor yayasan Citra Almadina, Rabu (16/7) mengatakan terpilihnya yayasan ini melewati penyaringan yang ketat. Citra Almadina dinilai memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan Depdiknas sebagai PAUD unggulan di indonesia. “Yayasan ini akan menjadi pusat rujukan pendidikan usia dini di Sumbar. Dan sekaligus sebagai tempat melakukan uji coba dan magang,” kata Tuti.

Ketua yayasan Ema Yohana mengatakan, Yayasan Citra Almadina terpilih sebagai PAUD unggulan pada September 2007 lalu. Sejak ditunjuk Depdiknas sebagai PAUD unggulan, Citra Almadina telah melakukan program-program ungulan pendidikan anak usia dini. Seperti penerapan Beyond Centres and Circle Times (BCCT). “Bentuknya saat ini kita menggelar workshop BCCT untuk pengelola taman penitipana anak (TPA). Sebelumnya Desember lalu, juga sudah digelar workshop BBC untuk guru-guru playgroup,” jelasnya.

Acara yang dibuka secara resmi oleh Kadis Pendidikan Sumbar Burhasman Bur ini diikuti 50 peserta dari Kota Padang dan Kabupaten/kota di Sumbar lainnya. Dalam sambutannya, Burhasman mengatakan, pendidikan usia dini harus diperhatikan lebih. Harus ada sentuhan pada tingkatan pendidikan ini, soalnya PAUD adalah dasar dari kecerdasan anak di masa depan. Dalam konsep ini guru-guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hasilnya, siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mencoba sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat sekarang dan kelak.

(Foto : Imla Wifra, S.Ag - Kepala Sekolah TK PAUD Citra Al Madina)
(Foto : Studi Banding Majelis Guru TK PAUD Citra Al Madina Padang ke Malaysia, Singapura dan Pekan Baru)

Ketua KPPI, Ema Yohanna : "Mengapa Perempuan Banyak Buta Aksara?"

PADANG EKSPRES, 10 Oktober 2009 - Tingginya jumlah kalangan perempuan buta aksara, seolah bertolak belakang dengan kondisi saat ini. Sebab, perempuan sudah di perhitungkan di berbagai situasi. Sebut saja kuota perempuan calon Legislatif yang harus mencapai 30 persen, belum lagi banyaknya tokoh-tokoh wanita yang telah memberikan hasil karya terbaik mereka. Ketua Himpunan Wanita Karya Sumbar Sastri Yunizarty Bakrie menyayangkan data yang menunjukkan tingginya angka buta aksara, pada kaum perempuan Kota Padang. Padahal, dari tahun ke tahun selalu ada program untuk menuntaskan buta aksara tersebut. “Idealnya, jika pemerintah serius menangani masalah buta aksara, setiap tahun pasti terjadi penurunan yang signifikan. Saya sanksi dengan pemetaan program yang ada saat ini, harus ada perubahan secara proporsional dan profesional untuk menekan jumlah buta aksara,” tegasnya menanggapi peringatan hari buta aksara yang jatuh pada tanggal 9 September.

Soal banyaknya perempuan, Sastri menilai bisa jadi penyebabnya adalah jumlah warga perempuan lebih banyak ketimbang warga laki-laki. Tapi dari segi keinginan untuk belajar, perempuan tidak kalah dengan laki-laki. “Bahkan dari segi ketekunan belajar, mungkin tingkatnya perempuan lebih tinggi,” tandas Ketua Bawasda Kota Padang ini. Dihubungi terpisah Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia Ema Yohanna menjabarkan, ada beberapa faktor yang menjadi latar belakang kenapa perempuan lebih banyak buta aksara ketimbang pria. “Di antaranya masalah ekonomi, kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang pentingnya pendidikan, serta kurangnya peluang untuk mendapatkan pendidikan yang layak,” ulasnya.

Di bidang politik misalnya, Ema menjabarkan, kesempatan perempuan untuk berpolitik sangat terbuka lebar, sehingga siapa saja perempuan yang punya kompetensi, bisa berkecimpung di sana. “Memang harus ada keseriusan untuk mengentaskan buta aksara, sehingga perempuan tidak lagi di pandang hanya sebagai ibu rumah tangga belaka,” ungkapnya. Hal itu merupakan tanggung jawab berbagai pihak, baik pemerintah hingga masyarakat itu sendiri. “Kita harus memiliki satu visi untuk menuntaskan buta aksara, sehingga di tahun yang akan datang, tak ada lagi buta aksara, baik di Kota Padang, maupun Sumbar,” pungkasnya.

TK Citra Al Madina Padang Sebagai PAUD Terdepan

PADANG EKSPRES, Agustus 2008 - Yayasan Citra Al-Madina semakin mengukuhkan diri, di bidang pendidikan anak. Setelah sebelumnya terpilih sebagai lembaga per contohan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), kini yayasan besutan Ema Yohanna ini mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA) yang secara tegas memberikan ruang bermain sekaligus belajar, dan sesuai dengan potensi masing-masing anak. TPA Citra Al-Madina tersebut, dilengkapi fasilitas bermain yang dipandu oleh pengasuh-pengasuh profesional, yang sekaligus memberikan pelajaran dasar bagi anak-anak yang dititipkan. Bahkan, pelatihanpun sudah dilakoni para pengasuh yang berjumlah empat orang tersebut, sebagai acuan dalam menjalankan tugas.

Ketua Yayasan Citra Al-Madina Ema Yohanna mengutarakan, TPA tersebut sudah beroperasi. Bahkan saat ini sudah tercatat beberapa anak yang dititipkan pada jam-jam tertentu. “Anak paling kecil yang kita asuh berumur 1,2 tahun sementara yang paling besar berumur 3 tahun,” urai Ema usai launching Pusat Unggulan PAUD Citra Al-Madina, taman Bermain dan TPA, yang dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan Sumbar Burhasman Bur, Kamis. Guru TPA dan PAUD, lanjut Ema, bukan sekadar mengasuh anak-anak yang dititipkan, tapi juga memberikan pelajaran. Contohnya, saat memberikan buah apel, anak diajari matematika melalui pembagian apel kepada teman-teman mereka. “Mereka akan ingat hal itu. Begitu juga dalam menentukan potensi anak,” tandasnya.

Emma Ikut Calon DPD Karena Ingin Independen

(Foto : Emma mendaftar di KPU Sumbar dan terlibat diskusi dengan Ketua KPU Marzul Feri serta Mufti Syarfie)

Padangmedia.com – 18 Februari 2009 – Sosok Emma Yohana, pebisnis dan aktivis perempuan di Sumbar, belakangan banyak diperbincangkan masyarakat. Hal tersebut tak terlepas dari pencalonan dirinya untuk maju sebagai salah satu wakil Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu 2009 yang akan datang. Emma seakan tak ‘kapok’ terjun ke dunia politik, meski ia pernah gagal saat ikut sebagai Calon Wakil Bupati Pasaman Barat tahun 2005 lalu. Kini, bersama puluhan calon politisi lainnya, ia pun mendaftarkan diri untuk calon DPD di KPU Sumbar. Keputusan Emma untuk ikut serta di ajang DPD tersebut tentunya sangat menarik, di tengah minimnya keterwakilan perempuan di kancah perpolitikan Sumbar. Bahkan, kali ini, hanya dua perempuan yang mendaftar sebagai calon anggota DPD tersebut dari Sumbar, yakni Emma Yohana dan Fitri Yanti. Emma merupakan Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Sumbar sementara Fitri adalah Wakilnya.

Dalam diskusi yang digelar Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sumbar bersama Emma Yohana di Banana Café, GOR H. Agus Salim, Sabtu (2/8), Emma mengungkapkan bahwa, keikutsertaannya dalam ajang pemilihan DPD ini semata-mata disebabkan keprihatinannya melihat kondisi riil yang kini ada di Sumbar. “Daerah kita sangat kaya. Tapi, saya melihat begitu banyak kemiskinan, pembangunan yang hanya berjalan di tempat, dan sebagainya. Saya sering menangis melihatnya. Saya merasa ada yang salah dalam hal itu, sehingga saya tergerak untuk ikut memperbaikinya ke arah yang lebih baik. Dan untuk itu, tak ada jalan lain, kita harus masuk ke dalam sistemnya, jika ingin memperbaikinya,” kata Emma memulai perbincangan.

Menurut Emma, keikutsertaan sebagai pribadi, dinilainya jauh lebih baik ketimbang ia harus ikut sebagai wakil dari salah satu partai yang ada. “Saya tak mau ikut partai, karena begitu ikut partai, kita hanya bisa menjadi milik sekelompok orang. Tetapi di DPD, kita bisa berada di tengah-tengah dan independen. Saya ingin ikut berperan untuk mensejahterakan rakyat, khususnya Sumbar, melalui peran DPD di parlemen,” lanjutnya. Diskusi yang dipandu Ketua PJI Sumbar Asril Koto itu, diikuti berbagai wartawan media cetak dan elektronik di Sumbar. Menjawab pertanyaan John Edwar Roni dari Haluan yang mengatakan DPD seolah-olah sudah menjadi ‘lapangan pekerjaan’ (sehingga, yang sudah duduk di dalamnya enggan melepaskan posisi itu, dan kemudian ingin mendaftar lagi untuk jadi calon DPD), Emma menyebutkan, baginya DPD tak akan jadi lahan pekerjaan, tetapi merupakan ajang untuk pengabdian. Sebab, di sanalah jika ia terpilih, ia akan menyuarakan berbagai hal yang harus diperbaiki di Sumbar, demi kemajuan yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Jumat, 06 Maret 2009

VISI MISI Emma Yohanna : "Yes, I Can"

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Halo semua,

Saya, Emma Yohanna, berketetapan hati untuk maju sebagai Calon Anggota DPD Republik Indonesia Periode 2009-2014. Optimisme perlu, kerendahhatian merupakan sebuah keharusan. Ikhtiar sangat penting, takdir dan tawakkal di atas segala-galanya. Dalam konteks tersebutlah, saya merasa sanggup dan mampu untuk mengemban amanah bila terpilih nanti. Membuat dan merumuskan visi misi yang bagus-bagus itu relatif mudah. Soalnya, apakah nanti dapat diwujudkan atau tidak secara konsisten? Artinya, selain dibutuhkan ketangguhan, kegigihan, dan kemauan kuat orang tersebut untuk memperjuangkannya, diperlukan juga kesempatan beserta sistem dan prosedur-mekanisme yang mendukungnya. Secara Umum, ada “TIGA” Konsep kunci dalam yang menjadi “patron” saya nanti : PENDIDIKAN, PEREMPUAN DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PUBLIK. Tiga hal ini, apabila dikonfirmasi dengan “track record” saya, rasanya hal tersebut menjadi “ranah” tempat dimana selama ini saya berproses.

VISI : Terwujudnya DPD RI sebagai lembaga legislatif yang kuat, setara dan efektif dalam memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah Sumatera Barat menuju masyarakat Sumatera Barat yang bermartabat, sejahtera dan berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

MISI :

1. Memperjuangkan penguatan status DPD RI sebagai salah satu badan legislative dengan fungsi dan kewenangan penuh untuk mengajukan usul, membahas, memutuskan serta memberi pertimbangan, dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang,terutama yang menyangkut kepentingan daerah.

2. Mendorong perhatian yang lebih besar dari pemerintah pusat terhadap isu-isu penting di daerah Sumatera Barat.

3. Memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah Sumatera Barat untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan upaya mendorong pembangunan pendidikan secara berkelanjutan.

4. Memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah Sumatera Barat untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur publik yang seimbang dan berkeadilan.

5. Memperjuangkan aspirasi dan kepentingan politik kaum perempuan Sumatera Barat dalam bingkai hukum dan keseimbangan gender dengan mengedepankan nilai-nilai normatif agama dan budaya-kultural.

Satu lagi, saya akan berupaya untuk membuka ruang-ruang seluas mungkin bagi rakyat untuk menemui wakil rakyatnya di DPD. Baik dengan bertatapmuka, maupun lewat sarana telekomunikasi. Dengan demikian, rakyat dapat dengan mudah menitipkan aspirasinya untuk dibahas di sidang-sidang DPD. Itu dulu, semoga membantu menjelaskan tentang apa motivasi saya ingin ke DPD. Selain dibutuhkan ketangguhan, kegigihan, dan kemauan kuat orang tersebut untuk memperjuangkannya, diperlukan juga kesempatan beserta sistem dan prosedur-mekanisme yang mendukungnya............ yes, I can

Kamis, 05 Maret 2009

Pendapat Emma (Aktifis Perempuan Sumbar) Tentang Poligami

PADANG (Suara Karya) : Kalangan wanita di Minangkabau menyatakan dukungan sikap pemerintah yang akan melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 45/1990 tentang poligami, karena pada prinsipnya tidak ada wanita yang mau dan rela untuk dimadu. "Saya sangat mendukung sikap pemerintah itu yang begitu cepat menanggapi terkait kembali mencuat kasus-kasus poligami, karena ini juga akan menjadikan wanita sebagai korban," kata Emma Yohanna, aktivis perempuan Minang kepada Antara, hari ini, menanggapi sikap pemerintah merevisi PP terkait poligami. Ia berkeyakinan sikap pemerintah itu, juga terkait sudah banyak kasus-kasus poligami yang pada akhirnya menjadikan wanita sebagai korban. Emma Yohanna, juga wakil ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Sumbar itu menyatakan, pada prinsipnya tidak ada wanita yang mau dimadu, jikapun ada itu hanya pengecualian. Pemerintah akan kembali merevisi PP tentang poligami itu, dan sasaran cakupannya diperluas bukan saja kalangan PNS selama ini, tapi juga pejabat pemerintah dan pejabat negara.

Namun ia mengingatkan pemerintah, dalam revisi PP itu yang utama penegakan sanksi hukumnya bagi PNS dan pejabat pemerintah serta pejabat negara yang melakukan tindak poligami. "Kalangan pejabat itukan publik figur dan selalu menjadi contoh bagi masyarakat, dan jika berbuat salah harus dikenakan sanksi hukumnya," katanya dengan nada serius. Sanksi hukum itu, menurut dia, dicopot dari jabatannya dan dikenakan sanksi hukum lainnya, hingga ada unsur jera bagi yang lainnya. Ia menyatakan keyakinannya, tindakan poligami dilakukan kalangan pejabat pemerintah dan pejabat negara beserta PNS akan sangat berpeluang terjadinya tindak korupsi. "Jadi tindakan pemberian sanksi hukum yang tegas dan keras dalam revisi PP itu, juga berdampak ikut memberantas tindak korupsi," katanya dengan nada optimis. "Mana mungkin dengan standar gaji PNS, pejabat pemerintah dan pejabat negara saat ini bisa menghidupkan dua isteri beserta anak-anaknya, satu keluarga saja hanya untuk pas-pasan," katanya dengan nada bersemangat dan menambahkan, kecuali dengan melakukan tindakan korupsi untuk memenuhi biaya hidupnya.

Ia meyakini, jika mereka memiliki dua isteri itu (yang juga menanggung biaya hidup anak-anaknya --red), sangat berpeluang melakukan tindak korupsi. Menurut dia, tindakan poligami juga berpeluang menciptakan kemiskinan dan gangguan kehidupan dalam berumah tangga yang pada akhirnya pertumbuhan anak-anak, juga ikut terganggu, yakni anak-anak itu pada usia remaja menjadi nakal. Ia berharap penertiban tindak poligami di kalangan PNS, pejabat pemerintah dan pejabat negara juga berdampak kepada masyarakat agar tidak berkeinginan beristeri dua.

Seminar Keterwakilan Perempuan dalam Politik

PADANG EKSPRES - Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Sumatera Barat Ema Yohana mengakui ketertinggalan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik. Hal ini akibat rendahnya partisipasi politik perempuan. Hal itu dipaparkan Ema Yohana dalam seminar keterwakilan perempuan pada partai politik dalam menghadapi pemilu 2009 mendatang yang diadakan oleh mahasiswa Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Perdata Islam STAIN Batusangkar kemarin. Seminar ini dilaksanakan diaula STAIN Batusangkar yang dihadiri sekitar 150 orang peserta guru Kewarganegaraan dan Tata Negara tingkat SLTP dan SLTA se Tanahdatar, utusan parpol cabang Tanahdatar dan mahasiswa se Tanahdatar. Menurutnya, sebagai warga negara, perempuan memiliki hak dan kewajiban di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada perbedaan kaum laki-laki dan perempuan, sebagaimana yang tercantum dan dijamin dalam UUD 1945. Dengan diberikannya hak politik perempuan terutama hak memilih dan dipilih di pusat, provinsi dan kabupaten merupakan peluang normative mulai dari UUD 1945, UU no 68 tahun 1958, UU No 7 tahun 1984 dan beberapa undang-undang lainnya. Dengan adanya peluang tersebut hendaknya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh perempuan. Hal ini dalam upaya meningkatkan refresentasinya dilembaga legislatif dan jabatan publik lainnya guna kebijakan yang sensitif dan responsif gender. Sementara, Ilhmadi Taufik SH MH Dekan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Unand Padang menilai secara kuantitif dan kualitatif, dengan adanya keterwakilan perempuan dalam pemilu mendatang merupakan suatu kemajuan besar pada pemilu sebelumnya.

Keterwakilan perempuanpun sangat dihargai, bahkan jatah sebanyak 30 persen harus bisa dilaksanakan. Komisi Pemiihan Umum (KPU) baik pusat maupun daerah dapat mengembalikan daftar bakal calon kepada partai politik, jika tidak memuat kouta 30 persen perempuan. KPU dapat melakukan saringan/pengawasan soal itu sebanyak dua kali, yaitu pertama pada tahap verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan adminitsrasi kepada bakal calon dan kedua pada tahap berikutinya saat meneliti daftar bakal calon. Sedangkan Ir Erizal dari tokoh partai PKS Sumatera Barat mengakui peran perempuan dalam percaturan politik terutama pada pemilu 2009 mendatang tidak lain sekedar wacana, tapi sudah harus diimplikasikan oleh partai politik peserta pemilu. Sehingga tidak ada kesan karena kaum laki-laki perempuan merasa terpinggirkan. ”Seminar ini merupakan langkah maju dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2009 mendatang sebagaimana yang diisyaratkan dalam UU Pemilu,” tegasnya lagi.

Rabu, 04 Maret 2009

Catatan DPD Awal Tahun 2009

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memberikan “Catatan DPD Awal Tahun 2009” yang disampaikan Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita didampingi Wakil Ketua DPD Irman Gusman di Jl Widya Chandra V No 26, Jakarta, Minggu (28/12). Acara silaturahim dengan jajaran pers tersebut sekaligus ajang urun rembug dan curah pendapat. Materi “Catatan DPD Menyambut Tahun 2009” terbagi tiga, yaitu kemajuan kerja DPD, persoalan bangsa dan negara yang menjadi ruang lingkup DPD, serta perkembangan politik, pemerintahan, dan perekonomian yang memerlukan penyelesaian segera. Menyangkut kemajuan kerja DPD, Ginandjar menegaskan, hingga akhir tahun 2008 DPD menghasilkan 162 keputusan yang terdiri dari 12 usul rancangan undang-undang (RUU); 87 pandangan dan pendapat atas RUU yang berasal dari Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); 39 hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang (UU), serta 24 pertimbangan atas anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).


Dari 12 usul RUU yang diinisiatifi DPD, 10 di antaranya diserahkan kepada DPR tetapi ditindaklanjuti hanya satu saja yaitu RUU tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DI Yogyakarta. “Beberapa usul RUU yang menurut hemat kami sangat penting justru belum ditanggapi DPR,” ujarnya. Misalnya, RUU lembaga keuangan mikro, agraria, dan kehutanan. Akibatnya, kemajuan kerja DPD tidak menampakkan hasil sesuai amanat UUD 1945 karena tanpa tanggapan memadai dari DPR maupun Pemerintah. DPD juga menyampaikan pandangan dan pendapat, hasil pengawasan, serta pertimbangannya kepada DPR dan Pemerintah. “Menurut hasil evaluasi DPD, ada respons yang cukup positif dari Pemerintah.”

Ketua DPD menyinggung usul amandemen UUD 1945 yang konsisten dengan penataan kelembagaan negara dan sistem pemerintahan. Menurutnya, DPD terus bergelut dengan substansi amandemen komprehensif sebagaimana harapan fraksi-fraksi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Yang sangat dipentingkan DPD adalah kejujuran menyikapi perkembangan sekarang yang belum sepenuhnya didukung aturan konstitusi. Jadi, diperlukan penyempurnaan UUD 1945. Sesuai pula dengan agenda Pemilihan Umum Tahun 2009, tanggal 10 April 2008 DPD mengajukan uji materi UU 10/2008 tentang Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau UU Pemilu terhadap UUD 1945. Uji materinya menyangkut dengan ketiadaan persyaratan domisili dan calon anggota DPD adalah pengurus atau anggota partai politik.


Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 1 Juli 2008 telah diketahui khalayak. Namun, Ginandjar menyatakan, proses uji materi DPD memperoleh dukungan dari daerah dan kelompok masyarakat, termasuk analisis atau pakar dan praktisi sampai keterangan saksi dan ahli di sidang pleno MK. DPD menyimpulkan, rumusan UU Pemilu yang disepakati DPR dan Pemerintah saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Jakarta, Senin, (3/2), mengindikasikan adanya konspirasi dan kooptasi elit untuk kepentingan kelompok, khususnya partai politik. Konsisten dengan penataan kelembagaan negara dan sistem pemerintahan itu pula, DPD memperhatikan secara khusus pembahasan Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau RUU Susduk DPD yang masih berlanjut hingga ke tahun 2009. Selama pembahasan antara pimpinan DPR bersama pimpinan Panitia Khusus (Pansus) RUU Susduk DPR, dicapai kesepahaman orientasi dan arah kelembagaan negara khususnya DPD sebagai lembaga perwakilan di samping DPR.

Namun, menurut Ginandjar, DPD dan DPR tetap dalam koridor lingkup kekuasaan masing-masing sebagaimana ketentuan UUD 1945. Yang lebih dipentingkan DPD ialah praktik dan implementasi fungsi, tugas, dan wewenangnya (DPR maupun DPD) yang semata-mata untuk kepentingan rakyat dan daerah. “Orientasi bersama yang diinginkan bersama DPR dan DPD ialah penguatan sistem perwakilan atau sistem parlemen Indonesia yang optimal,” ujarnya. Sehingga, harus ikut dipikirkan penyempurnaan sistem pendukungnya yaitu kesekretariatjenderalan parlemen. Baik anggota maupun Sekretariat Jenderal DPD, sambungnya, telah mempersiapkan diri apabila efisiensi dan efektifitas fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945. DPD dan DPR akan terus menerus mendiskusikannya melalui Pansus RUU Susduk DPR dan Tim RUU Susduk DPD. Mengantisipasinya, penghujung tahun 2008 DPD mempersiapkan instrumen sistem pendukungnya, yaitu pembentukan law center, budget office, dan natural resources center.

Menyangkut persoalan bangsa dan negara yang menjadi ruang lingkup DPD, Ketua DPD mengingatkan, gerakan reformasi tahun 1998 menyepakati otonomi daerah sebagai konsensus yang menghasilkan kebijakan desentralisasi melalui UU 22/1999 dan UU 32/2004. Yang menonjol dari kebijakan tersebut adalah pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah secara langsung atau pilkada. DPD memiliki banyak catatan kritis tentang penyelenggaraan pilkada. Yang dirasakan ialah berbagai ekses pilkada berindikasi seolah-olah implementasi otonomi daerah dalam tahap transisi dan perwujudan kesejahteraan rakyat belum mencapai ujungnya. Untuk itulah, DPD terus menerus mengikuti perkembangannya di lapangan dan mengidentifikasi masalahnya untuk menyempurnakan UU otonomi daerah.

Yang lain ialah masih lemahnya sistem evaluasi dan monitoring Pemerintah atas lay-out implementasi otonomi daerah, cluster kemajuan, dan perspektif kecepatan daerah otonom untuk mencapai otonomi daerah sesuai dengan tujuannya. “Beberapa daerah mengalami kemajuan yang baik dalam peningkatan daya saing, investasi. Beberapa daerah memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan kemampuan daya saingnya. Tetapi, beberapa daerah mengalami kesulitan karena berbagai hambatan,” katanya. Untuk itulah, DPD terus menerus mendorong daerah-daerah dalam bentuk fasilitasi atau dukungan investasi dan perekonomian daerah.

Mengenai format hubungan pusat dan daerah, Ginandjar menyatakan, tidak menggembirakan yang diindikasikan dengan perbedaan prioritas program antarstrata pemerintahan (pusat dan daerah), penegasan kewenangan, dana transfer, perizinan, kehutanan, dan pertambangan. Praktik kepemimpinan daerah juga membuktikan betapa Gubernur kesulitan mendapat gambaran utuh tentang apa yang sedang dan telah terjadi di wilayah kabupaten/kota. Contohnya perbedaan prioritas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan bantuan langsung tunai (BLT) yang jelas-jelas menunjukkan distorsi format hubungan pusat dan daerah. Kelemahan supervisi dari pemerintahan atas kepada pemerintahan bawah serta trust building-nya merupakan masalah paling mendasar.

Selanjutnya, Ketua DPD menyoroti tenaga honorer pendidikan, pengalokasian 20% dana pendidikan dalam Anggaran Pendidikan dan Belanja Negara (APBN), kesejahteraan guru, Ujian Akhir Nasional (UAN), dan sekolah-sekolah yang memprihatinkan. Secara khusus, DPD terus menerus mendorong Pemerintah agar memperhatikan keseimbangan dan kesetaraan perlakuan antara guru pendidikan agama dan guru pendidikan umum serta antara guru swasta dan guru negeri. “Harus ada perlakuan yang lebih adil,” tukasnya.

Ginanjar juga mengingatkan agar mewaspadai indikasi kontradiksi yang berpotensi rawan menjelang Pemilu 2009. Beberapa indikasi kontradiksinya sebagai berikut:

  • Kontradiksi antara UU Pemilu sebagai dasar hukum penyelenggaraan demokrasi (soal calon DPD, calon independen, dengan penetapan calon terpilih.
  • Kontradiksi antara kebijakan energi menyangkut pengelolaan, transparansi, konversi, dengan harganya.
  • Kontradiksi antara UU Pornografi, aliran Ahmadiyah, dengan ajaran Lia Aminuddin atau Lia Eden.
  • Kontadiksi antara hasil pilkada, fatwa Mahkamah Agung, dengan penetapan Pemerintah.
  • Kontradiksi antara penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan kebijakan mengatasi krisisnya.
  • Kontradiksi antara sistem parlemen bikameral dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  • Kontradiksi penting dan tidak pentingnya perubahan kembali UUD 1945.
  • Kontradiksi menyangkut anggaran dan belanja, karena di satu sisi terjadi defisit dari 1% menjadi 2% APBN dan di sisi lain daya serapnya yang sangat rendah (hanya 6-65 %).
  • Kontradiksi antara kurangnya dana transfer dari pusat ke daerah yang membutuhkan dana pembangunan dengan dana alokasi disimpan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI).


Menurut Ginandjar, indikasi kontradiksi tersebut harus diwaspadai karena bisa berkembang menjadi distrust. “Berkembangnya distrust secara luas akan mengandung potensi gejala gejolak sosial yang meluas dan simultan. Betul-betul akan sangat rawan. Kita semua harus mewaspadainya.” Bagi DPD, tahun 2009 merupakan tahun waspada. Untuk itulah, DPD mengajak semua pihak mewaspadai gejala-gejala itu dengan mengembangkan format penyelesaian secara institusional, apakah menyangkut masalah global finansial maupun penyelenggaraan Pemilu 2009 dan percepatan implementasi otonomi daerah.

sumber: Press Realese DPD.

Visi dan Misi DPD Republik Indonesia

Rumusan visi suatu organisasi atau lembaga pada dasarnya adalah pernyataan cita-cita yang hendak dicapai atau dituju oleh lembaga atau organisasi yang bersangkutan. Secara normatif, rumusan visi tersebut menjadi pedoman dasar semua arah kebijakan, keputusan, dan tindakan yang akan dilakukan. Karena itu, visi juga merupakan pernyataan pikiran dan kehendak untuk berubah dari keadaan yang ada saat ini (das sein) ke suatu keadaan yang diinginkan (das sollen). Lembaga Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) saat ini masih terbentur pada satu masalah utama, yakni keberadaannya yang nisbi dan ‘serba-tanggung’ sebagai suatu lembaga legislatif. Gagasan dasar pembentukan sebagai suatu lembaga pengimbang (check and balance) kekuasaan, baik di lingkungan lembaga legislatif sendiri (DPR dan MPR RI) maupun di lembaga-lembaga eksekutif (pemerintah), belum sepenuhnya berfungsi secara optimal dan efektif. Ada beberapa penyebab utama yang dapat diidentifikasi, setidaknya sampai saat ini, yakni:
  1. Keberadaannya sebagai suatu lembaga baru belum menemukan format kerja dan struktur kelembagaan yang memadai;
  2. Sebagian besar anggotanya adalah orang-orang baru dalam dunia politik yang belum memiliki pengalaman nyata dalam praktik-praktik sistem politik Indonesia selama ini; dan
  3. Batasan fungsi dan kewenangan yang ada belum memiliki kekuatan penuh dalam proses legislasi.
Berdasarkan masalah pokok dan mendasar itulah, rumusan visi DPD RI yang disepakati pada Lokakarya Perencanaan Strategis DPD RI, 30 Agustus- September 2005 adalah sebagai berikut : Terwujudnya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebagai lembaga legislatif yang kuat, setaradan efektif dalam memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah menuju masyarakat Indonesia yang bermartabat, sejahtera, dan berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Senin, 02 Maret 2009

Emma : "Saya akan Komit dengan Perjuangan"

Politik adalah milik kaum laki – laki. Tetapi setelah zaman reformasi nuansa politik juga milik perempuan. Namun dari 42 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sumbar hanya dua orang dari kaum perempuan. Untuk melangkah maju ke DPD tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan banyak orang. Banyak jalan yang berliku yang dihadapi. Karena kurangnya wanita di kancah politik maka saya memberanikan diri menjadi calon DPD dari Sumbar untuk Republik Indonesia. Hal itu dikatakan oleh, Emma Yohanna di hadapan sejumlah wartawan beberapa hari yang lalu. Emma menambahkan sebenarnya dia juga ditawari untuk melangkah maju lewat partai politik, tapi ajakan itu ditolak. Karena melaju dengan salah satu partai berarti dia hanya berjuang untuk sekelompok orang. “DPD tidak demikian halnya. Hanya melalui DPD-lah perjuangan kita akan dirasakan banyak orang,” katanya.

Memang selama ini orang mengira DPD itu orang buangan karena DPD tidaklah berhak untuk memutuskan dan semua kebijakan itu berada di tangan penguasa. “Itu tidak benar, terbukti pengabdian terhadap negara lewat jalur DPD juga menjadi rebutan orang partai. Jika saja diizinkan Allah menjadi anggota DPD RI hasil pemilu 2009 – 2014 maka saya akan berbuat sesuai dengan aturan yang ada. Semua potensi yang ada dan mengangkat citra itu jelas akan kita perjuangkan. Sumatra Barat butuh orang yang mampu menyuarakan daerahnya di tingkat pusat,” ujarnya. Sumbar sendiri tidak punya aset lain, tapi daerah ini kaya akan kebudayaan. Kebudayaan inilah yang akan menjadi nilai tambah Sumbar di pusat. “Karena banyak sekali corak kebudayaan yang belum tergali dengan sempurna, saya akan berjuang dengan apa yang saya katakan walaupun penuh dengan rintangan. Selama ini orang tidak tahu lagi makna dari sebuah kebenaran, karena semua berbuat untuk kepentingan pribadi dan golongan,” ungkap Emma. “Semua yang dilakukan hari ini adalah ibadah bagi saya. Ini pun akan saya pertanggung jawabkan di muka Allah kelak. Antara DPR dan DPD harus selalu bersama karena DPR dan DPD dipilih oleh rakyat tentu dia harus memperjuangkan rakyat secara keseluruhan,” katanya mengakhiri. (Minangkabau On-Line, 3 Maret 2009)

Dari "Kreatifitas Anak Citra Al Madina"

KOMPAS - Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PSP) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal mengatakan, perhatian terhadap pendidikan anak dini usia masih sangat rendah. Padahal, belajar dari pengalaman negara maju, konsep pembangunan sumber daya manusia (SDM) justru dimulai sejak masa dini usia. Rendahnya kualitas hasil pendidikan di Indonesia selama ini cerminan rendahnya perhatian terhadap pendidikan anak dini usia, sehingga berdampak terhadap rendahnya kualitas SDM Indonesia. "Menurut hasil penelitian Balitbang Depdiknas (tahun 1999), tingginya angka mengulang di kelas awal (kelas I: 13 persen dan kelas II: 8 persen) diduga disebabkan oleh lemahnya pembinaan anak masa dini usia. Artinya, terdapat korelasi positif antara pendidikan prasekolah yang diperoleh dengan kesiapan anak memasuki sekolah," kata Fasli yang didampingi oleh Ketua Yayasan Pendidikan Citra Al Madina Padang, Hj. Emma Yohanna pada seminar "Kreativitas Anak Citra Al-Madina" di Padang, Sabtu (28/12) yang diangkat oleh institusi pendidikan (PAUD percontohan) Sumatera Barat ini.

Fasli berpendapat, untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan dan kualitas SDM, pendidikan anak dini usia harus lebih digalakkan dan ditingkatkan. Saat ini, dari sekitar 12,6 juta anak usia 4-6 tahun, mereka yang tertampung di taman kanak-kanak (TK) baru sekitar 12,6 persen, dan yang tertampung di raudhatul atfal (RA) sekitar 3,2 persen. Ini berarti, untuk tingkat TK/RA pun di Indonesia masih tergolong eksklusif, baru dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. Padahal, berdasarkan hasil kajian neurologi, penanganan pendidikan anak yang dimulai setelah menginjak usia TK pun sudah dinilai terlambat, karena usia empat tahun pertama justru lebih penting dan menentukan," katanya seraya menambahkan, "Di Singapura dan Korea Selatan, misalnya, hampir seluruh anak dini usia telah terlayani pendidikan anak dini usia (PADU). Contoh lain, di Malaysia pelayanan PADU mencakup hampir 70 persen." Fasli menjelaskan, pendidikan bagi anak bukan sekadar meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sebagai bekal menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mempersiapkan masa depan anak yang penuh tantangan, pendidikan harus memungkinkan anak mengembangkan potensi dirinya, termasuk mengembangkan kecerdasan dan kreativitasnya. Pertumbuhan dan perkembangan anak akan optimal bila pendidikan dilaksanakan sedini mungkin.

Citra Al Madina Mendatangkan KAK BIMO

PADANG EKSPRES, Yayasan Pendidikan Citra Al Madina menggelar kegiatan dongeng sehari bersama seorang pendongeng Nasional, Kak Bimo, di Hotel Pangerans Beach, kemarin. Ratusan anak-anak tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga SD serius dan antusias mengikuti setiap pertunjukan yang diperlihatkan pendongeng. “Kegiatan mendongeng sebenarnya salah satu alat komunikasi dan kebudayaan paling tua di dunia. Selain hiburan, dongeng juga mempunyai segudang manfaat lainnya. Memberikan seruan melalui dongeng sangat efektif bagi anak-anak untuk merangsang daya kreativitas anak,” kata Kak Bimo, yang bernama lengkap Bambang Bimo Suryono, kepada Padang Ekspres, kemarin. Menurut Kak Bimo, beberapa manfaat yang bisa didapat dari kegiatan mendongeng, di antaranya menjalin keakraban komunikasi, setiap anak pada dasarnya suka dongeng. Ketertarikan mereka secara tidak langsung akan diungkapkan melalui penyampaian pendapat dan juga pertanyaan-pertanyaan.

“Respons inilah yang kemudian membangun komunikasi dan terjadi keakraban di antara pendongeng dan pendengar. Mengembangkan imajinasi dan kreativitas dongeng yang diceritakan, secara tidak langsung sebenarnya mengasah kemampuan imajinasi anak-anak yang tak terbatas. Saat memperhatikan, mereka juga akan ikut merasakan apa yang kita ceritakan dengan mendengar, melihat mimik atau ekspresi wajah, perubahan suara dan juga gerakan,” ucapnya. Ketua Yayasan Pendidikan Citra Al Madina, Emma Yohanna, mengatakan digelarnya kegiatan tersebut selain memperingati Hari Kebangkitan Nasional, juga bertujuan untuk membangun kreativitas dan menggali potensi jiwa si anak. ”Era globalisasi yang didominasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini membutuhkan individu-individu yang kreatif dan produktif. Kreativitas perlu ditumbuh kembangkan khususnya pada anak-anak usia dini. Salah satunya adalah melalui media dongeng ini, karena pada usia tersebut berlangsung periode puncak perkembangan kreativitas si anak,” ujarnya.

Citra Al Madina : PAUD Percontohan Sumatera Barat

(Foto : Emma Yohanna bersama dengan Majelis Guru TK Citra Al Madina setelah dialog dengan Atase Pendidikan KBRI Kualalumpur, Malaysia)

PADANG EKSPRES, Yayasan Citra Al-Madina semakin mengukuhkan diri, di bidang pendidikan anak. Setelah sebelumnya terpilih sebagai lembaga percontohan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), kini yayasan besutan Ema Yohanna ini mendirikan Tempat Penitipan Anak (TPA) yang secara tegas memberikan ruang bermain sekaligus belajar, dan sesuai dengan potensi masing-masing anak. TPA Citra Al-Madina tersebut, dilengkapi fasilitas bermain yang dipandu oleh pengasuh-pengasuh profesional, yang sekaligus memberikan pelajaran dasar bagi anak-anak yang dititipkan. Bahkan, pelatihanpun sudah dilakoni para pengasuh yang berjumlah empat orang tersebut, sebagai acuan dalam menjalankan tugas.

Ketua Yayasan Citra Al-Madina Ema Yohanna mengutarakan, TPA tersebut sudah beroperasi. Bahkan saat ini sudah tercatat beberapa anak yang dititipkan pada jam-jam tertentu. “Anak paling kecil yang kita asuh berumur 1,2 tahun sementara yang paling besar berumur 3 tahun,” urai Ema usai launching Pusat Unggulan PAUD Citra Al-Madina, taman Bermain dan TPA, yang dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan Sumbar Burhasman Bur, Kamis. Guru TPA dan PAUD, lanjut Ema, bukan sekadar mengasuh anak-anak yang dititipkan, tapi juga memberikan pelajaran. Contohnya, saat memberikan buah apel, anak diajari matematika melalui pembagian apel kepada teman-teman mereka. “Mereka akan ingat hal itu. Begitu juga dalam menentukan potensi anak,” tandasnya.

Miras di Pasaman Barat : Tanggapan Buat Mathias Pandoe

Oleh : Muhammad Ilham
(Pernah dipublikasikan di Harian Haluan tanggal 23 Nopember 2007)

Apresiasi dan kritik terhadap sesepuh saya Mathias Pandoe. Tulisan sang wartawan senior ini di Harian Padang Ekspres terbitan Rabu tanggal 21 November 2007 dengan judul “Miras di Sarang Dai” membuat saya terkesima. Ada kesan terjadinya generalisasi terhadap realitas yang terjadi. Tulisan tersebut spontan mendorong saya untuk memberikan sedikit penjelasan dan tanggapan – setidaknya memberikan “satu perspektif yang lebih empatik". Meskipun pak Pandoe memojokkan para da’i yang berasal dari Ujung Gading dengan menulis berbagai marga dan bahkan mengatakan : “Sebagian yang eksodus dari Utara, bak burung tabang mambao sarang, artinya membawa kebiasaan-kebiasaan di negeri asal, seperti main catur dan minum tuak. Tidak menerapkan falsafat dimana bumi dipijak, disinan langik dijunjuang, disitu bumi dipijak maka disitu pula adapt dipakai”. Saya yakin, niat Pak Pandoe tulus-bersih. Bentuk keprihatinan terdalam pada kejadian ini. Saya yakin juga, Pak Pandoe mengkritisi para dai dengan menyampaikan kritikan yang “super-pedas”, bahkan bila hanya ditangkap dengan “kaca mata kuda” bisa berpotensi membangkitkan emosional dan membuat telinga merah-pedas.

Saya bukanlah dai kondang Padang asal Pasaman Barat seperti kakak dan bapak-bapak saya : Syahruji Tanjung, Manaon Lubis, Mikdar Piliang, Nahruddin Lubis, Fitri Abu Hasan -- untuk menyebut beberapa nama diantaranya, saya hanya "labai lentera" yang pernah menjadi gharim masjid selama 10 tahun dan sekarang jadi dosen IAIN Imam Bonjol Padang. Saya dari Air Bangis, sebuah nagari tetangga dari nagari Ujung Gading. Namun saya memiliki ikatan emosional-genetik dengan nagari Ujung Gading. Ayah saya orang Mandahiling (asal Natal Madina bermarga Nasution), Ibu saya orang Minang suku Jambak dan tiga orang adik kandung saya suaminya dari "utara" bermarga Sembiring, Siregar dan Lubis. Interaksi social-budaya saya lalui cukup intens dengan orang-orang bermarga “keluarga Mandahiling”. Hal ini setidaknya membuat saya sedikit banyaknya mengetahui kebiasaan dan kehidupan sosial-kultural masyarakat Ujung Gading.

Saya sepakat dengan pak Pandoe bahwa meminum Miras, apalagi dalam suasana atau momentum Hari Fitri dan setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan adalah peristiwa yang sangat memalukan. Sekali lagi sangat memalukan. Memprihatinkan dan menyentakkan “ranah rasionalitas dan jiwa imani agama kita”. Apalagi peristiwa ini membawa banyak korban meninggal dan puluhan yang dirawat di Rumah Sakit. Jadi headline di berbagai media massa local dan menjadi perhatian media elektronik nasional. Tak mengherankan bila berbagai pihak kemudian bertanya, “Mengapa hal ini terjadi?”. Mengapa peristiwa memalukan ini bisa terjadi di nagari yang masuk dalam wilayah kultur Minangkabau yang menganut Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah ?. Namun patutkah kita memojokkan dan menyalahkan para dai saja. Tidakkah variable banyak yang terlibat ketika kasus ini dianalisis secara jernih. Patutkah para dai dijadikan satu-satunya variable penyebab atau variable paling signifikan ?. Patutkan para dai disalahkan dalam masalah yang kewenangannya hanya sekedar menyampaikan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Dalam konteks ini, para dai memiliki keterbatasan kewenangan dan kekuasaan dalam memberantas Miras. Mungkin pertanyaan yang lebih rasional dalam melihat masalh ini adalah Siapa yang berwenang dan berkuasa dalam mengawasi, memberi izin jual beri Miras, Menangkap dan menahan orang-orang yang melanggar soal Miras ?. Secara asumtif, semua orang sudah memiliki jawaban yang seragam. Dan itu bukanlah kewenangan dan kekuasaan para dai.

Ada hal yang perlu diluruskan dalam peristiwa Miras di Ujung Gading yaitu tentang opini yang terbentuk dimana kejadian tersebut adalah sebuah pesta Miras sistematik. Bahkan telah menjadi sebuah tradisi. Tuak menjadi symbol kultur masyarakat Ujung Gading. Dalam bahasa antropologi, ini adalah momentum dan symbol budaya yang include pada masyarakat Ujung Gading. Saya fikir ini bukanlah simpulan yang objektif. Ada generalisasi yang terjadi ketika simpulan ini diambil. Masyarakat Ujung Gading tidak pernah mengadakan pesta Miras dan secara histories apalagi budaya, Miras bukanlah tradisi masyarakat Ujung Gading. Masyarakat Ujung Gading adalah masyarakat religius. Di daerah ini, aura dan nilai-nilai Islam terasa “hidup”, majelis ta’lim, pengajian dan madrasah-madrasah serta pondok pesantren sangat maju. Organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya cukup berkembang secara dinamis dan mendapat apresiasi yang “menggairahkan” dari masyarakat Ujung Gading. Secara kuantitatif, setiap tahun masyarakat Ujung Gading mengalami peningkatan dalam menunaikan ibadah haji dibandingkan daerah lainnya di Pasaman Barat. Telah sejak lama pula masyarakat Ujung Gading melaksanakan hokum faraidh dalam masalah kewarisan. Mayoritas – secara histories genetic – mereka berasal dari daerah Tapanuli Selatan (termasuk Madina), sebuah “enclave Islam” diwilayah Sumatera Utara. Bahkan Mandahiling identik dengan Islam, walaupun tidak sekaku identiknya Islam dengan Minangkabau. Tapi setidaknya, daerah Tapanuli Selatan dan Madina pada saat dulu hingga sekarang, pengaruh Islam sangat kuat. Ekstrimnya, tidaklah mungkin daerah utara yang Islam itu membawa kebiasaan minum tuak sebagaimana yang dikatakan oleh Pak Pandoe tersebut.

Kejadian ini bukanlah sebuah pesta sebagaimana yang menjadi headline di berbagai media massa . Memang jumlah yang meminum Miras ini cukup banyak, tetapi bukanlah dalam sebuah pesta dan dalam waktu yang bersamaan. Mereka minum di berbagai tempat dan berkelompok-kelompok, tidak dalam rentang satu hari. Hal ini berarti peristiwa tersebut bukanlah berasal dari sebuah pesta yang melibatkan banyak orang. Peristiwa tersebut juga bukan merupakan tradisi dan kebiasaan masyarakat Ujung Gading. Karena ini tidak pernah terjadi pada Hari Raya Idul Fithri tahun-tahun terdahulu. Baru tahun inilah, peristiwa jahilliyah dan sangat memalukan ini terjadi. Agaknya, perubahan social dan kemajuan teknologi informasi yang sedemikian pesat, telah membawa perubahan yang “timpang” pada masyarakat Ujung Gading dan masyarakat-masyarakat daerah lainnya. Wilayah yang terbuka, lalu lintas transportasi yang demikian tinggi, perkebunan sawit yang menjanjikan secara ekonomis, memberikan kontribusi dalam merubah pola perilaku masyarakat Ujung Gading, terutama generasi mudanya. Ditambah lagi dengan pengawasan dari pihak-pihak paling berwenang terhadap peredaran Miras ini lemah.

Kedepan, butuh sinergitas yang demikian sinergis dalam mengantisipasi agar peristiwa ini tidak terjadi lagi. Bukan hanya di pundak dai saja. Setidaknya, pihak Pemda dan Kepolisian harus kembali mengevaluasi perizinan dan jual beli Miras ini. Ketika pertama sekali Kapolri Jenderal Soetanto menjadi Kapolri, beliau pernah mengeluarkan pernyataan bahwa prioritas utamanya pada masa awal bertugas adalah memberantas Miras dan Perjudian. Miras menurutnya merupakan “asal bala” atau potensi yang paling potensial dalam kekacauan social, sedangkan judi memberikan potensi besar dalam meruntuhkan profesionalisme, mental dan etos kerja masyarakat. Semoga kedepan, kejadian Ujung Gading bisa dijadikan “kasus” bersama karena ini menjadi inspirasi bagi kita bersama untuk belajar bahwa Miras sejak zaman Rasulullah SAW. Telah menjadi sesuatu yang paling dilarang oleh Allah SWT. Terima kasih Pak Pandoe, Bapak telah menjadikan kasus ini menjadi kasus milik bersama. Dengan kritik Bapak, setidaknya memberikan kesadaran terkadang harus ada korban dahulu, maka pihak-pihak berwenang dan pihak-pihak yang terkait menjadi tersentak.

Emma dan HMI

(Foto : Pembangunan Gedung HMI Cabang Padang)

Meski saat ini banyak alumni HMI yang terjun dalam politik praktis, namun KAHMI Sumbar harus netral dalam Pemilu. Hal ini demi menjadikan KAMHI sebagai organisasi yang tidak terjebak dalam politik praktis. "Saat ini banyak anggota KAHMI yang menjadi caleg, namun kita harus menjaga KAHMI agar terhindar dan tidak berpolitik praktis," ujar Presidium KAHMI Sumbar Jafrinur usai dilantik, Kamis (5/2).

Jafrinur mengatakan KAHMI akan komit dengan ajaran nabi dan sunnah, dan berharap anggota KAHMI yang saat ini menjadi pejabat harus terus menggemakan ajaran tersebut. "Anggota KAHMI ada yang di Golkar, PPP, PBR, KPU dan lembaga-lembaga lainnya, semoga mereka tidak menyimpang dari ajaran nabi dan sunnah," tegasnya. Jafrinur terpilih menjadi presidium KAHMI Sumbar periode 2009-2013 bersama enam orang lainnya yakni Djonimar Boer, Fashbir Noorsidin, Emma Yohanna, Mimi Suharti, Basrizal dan Marzul Veri. Pelantikan dilakukan Presidium KAHMI Pusat Nanat Fatasin. (Dikutip dari Padangkini.com/5 Februari 2009)

Emma dalam Media : "Anggota DPD Tak Hanya Bertanggung Jawab pada Rakyat"

Padangmedia.com - PADANG-Hj.Emma Yohanna, aktifis perempuan yang mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) utusan Sumbar menyatakan pencalonan di di DPD saat ini bukan untuk mencari jabatan, status, tetapi untuk memberikan pengabdian kepada Sumbar. “Mencalonkan diri sebagai anggota DPD, bukan untuk status. Segalanya untuk pengabdian. Apalagi sejauh ini, saya melihat banyak hal yang mesti diperjuangkan untuk rakyat Sumbar. Sementara selama ini, saya hanya berteriak-teriak di luar dari sistim yang ada. Jakau teriak kita tak didengarkan, kita kecewa. Hal itulah yang mendorong saya maju sebagai calon DPD Sumbarm, ” ungkap Emma Yohanna saat berdialog dengan wartawan di Restoran Taman Sari Padang, Sabtu (17/1)


Menurut Emma, ia tak ingin menjanjikan yang muluk-muluk, karena baginya, hasil nyata yang lebih diutamakan. "Saya tidak menjanjikan yang muluk-muluk.Tapi seandainya Allah mengizinkan saya untuk lolos di DPD nanti, saya akan menjalani dengan baik dan sesuai dengan aturan yang ada,” tambahnya. Yang paling utama ia lakukan begitu terpilih nanti adalah mendirikan posko dan ruang pertemuan di Sumatera Barat agar komunikasinya dengan rakyat Sumbar selalu terjaga . Sehingga, katanya, apa yang menjadi persoalan dan keinginan rakyat Sumbar bisa dibicarakan di tingkat pusat.
Selama dialog berlangsung, Emma Yohanna menerima banyak masukan dari wartawan, termasuk membangun jaringan dengan calon-calon anggota legislatif dan membina kemitraan. ”Bila memungkinkan, tidak ada salahnya, calon Anggota DPD melakukan promosi atau kampanye bersama dengan caleg perempuan di daerah-daerah karena mereka masih punya ruang dan sangat dekat dengan masyarakat did aerah tersebut,” ungkap Gusfen Khairul, wartawan RCTI memberi masukan.


Sementara Fahrul Rasyid, wartawan senior menilai, pertemuan dan dialog bersama wartawan yang ada di Sumbar, adalah ide yang bagus untuk menjaring masukan. Karena sebagai anggota DPD nantinya, kata Fahrul, tidak hanya bertanggung jawab terhadap rakyat Sumbar, tetapi juga pada semua yang hidup di Sumbar, termasuk margasatwanya. Ia mencontohkan bagaimana kondisi kebun binatang di Bukittinggi yang disebutnya sebagai penjara binatang. Karena banyak binatang yang mati karena tak terpelihara dengan baik. ”Padahal binatang disitu perlu regenerasi. Tapi tak ada yang memikirkannya. Sebagai wakil rakyat, tak hanya memikirkan orang atau manusianya, tetapi semua hal,” kata Fahrul.
(Sabtu, 17/01/2009 23:08 WIB)